Selasa, 26 Maret 2013

ATHIBUN NABAWI


A.     Defenisi Pengertian Athibbun Nabawi
Athibbun  Nabawi  adalah metode  pengobatan  yang dijelaskan  oleh  Nabi  Muhammad SWT.  Kepada  orang  yang  mengalami  sakit tentang  apa yang beliau  ketahui  berdasarkan wahyu.
Pengobatan  yang  digunakan  Nabi  Muhammad  Shallallahu 'Alaihi  Wasallam  saat mengobati  sakit yang  dideritanya, atau  beliau  perintahkan kepada  keluarga  serta  para sahabat yang tengah sakit untuk melakukannya.  Adapun sumber yang dapat dijadikan  rujukan adalah Al-Qur’an, hadits  shahih serta  atas  para sahabat yang diriwayatkan melalui jalan yang dapat  dipertanggungjawabkan  menurut kaidah -kaidah ilmu hadits.
 Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata  dalam  Zaadul Ma’ad (IV/33),  “Pengobatan cara Nabi  Muhammad  Shallallahu 'Alaihi Wasallam memiliki  perbedaan  dibanding  dengan metode  pengobatan  lainnya.  Karena  metode  ini bersumber  dari  wahyu, misykat kenabian dan akal yang sempurna, maka  tentu  memiliki derajat  kepastian yang menyakinkan  di samping  memiliki  nilai keilahian, berbeda  dengan metode pengobatan lainnya  yang  umumnya hanya berdasarkan  pikiran, dugaan  atau pengalaman  semata-mata. ” (Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, 2009).  Pengobatan  ini sangat meyakinkan untuk  menjadi sebab kesembuhan, sedangkan  pengobatan lain lebih banyak merupakan  hipotesis  (dugaan) karena para dokter  merupakan manusia biasa,  sedangkan Nabi Muhammad  Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah seorang  Nabi sekaligus  Rasul dimana  segala sesuatu  yang beliau  katakan dan lakukan mutlak  kebenarannya.[1]
Adapun defenisi Thibbun Nabawi tersebut berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. AL-Najm: 3-4)
Pengobatan ini bersandar kuat kepada akidah Islamiyah yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah pemilik alam semesta ini. Kesembuhan terletak di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia yang memberikan kesembuhan kepada manusia. Seperti Firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala,
 
Artinya :”Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, (QS. Al-Syu’aro’: 80)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
Bagi setiap penyakit yang diturunkan Allah ada obatnya yang juga diturunkan-Nya.” (HR. Al-Bukhari) Pernyataan ini merupakan penegasan tentang hakikat dan akidah yang seyogyanya tidak hilang dari hati setiap muslim.
Pengobatan Nabawi sifatnya pasti, qoth’i, dan ilahi, bersumber dari wahyu, pelita kenabian, dan kesempurnaan akal. Adapun pengobatan lainnya kebanyakan berlandaskan perkiraan, dugaan, dan percobaan-percobaan. Memang tidak perlu dibantah bahwa banyak orang sakit yang tidak merasakan manfaat pengobatan Nabawi, karena yang bisa mendapatkan manfaat pengobatan Nabawi adalah siapa yang mau menerimanya dengan percaya dan yakin akan diperolehnya kesembuhan. (Aiman bin ‘Abdul Fattah, 2005 : 107)
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memberi petunjuk tentang banyak obat-obatan, mengajari cara untuk memanfaatkannya, sehingga diperoleh kesembuhan dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika kita mencermati sabda-sabda beliau tentang pengobatan, baik pengobatan yang beliau laksanakan untuk mengobati diri sendiri atau beliau anjurkan kepada orang lain, maka di dalamnya akan kita temukan hikmah yang tidak mampu diterima oleh akal kebanyakan dokter.
Ada beberapa definisi Athibbun Nabawi yaitu :
1.       Athibbun nabawi : Pengobatan yang memakai alat, bahan-bahan, metode, cara kerja seperti pada zaman Nabi Muhammad Shallalaahu 'alaihi wassalam.
2.      A thibbun nabawi : Pengobatan yang diamalkan/ditetapkan para Nabi, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para pengikutnya.
3.      Athibbun nabawi : Pengobatan yang menjaga akal, nasab, jiwa, jasad dan kehormatan manusia.
4.      Athibbun nabawi : Pengobatan yang tidak bercampur dengan sesuatu yang haram, syirik, khurofat, bid’ah.
5.      Athibbun nabawi : Pengobatan yang menjadikan ALLAH sebagai penyembuh yang tidak mengurangi ketawakalan.[2]
B.   Klasifikasi Athibbun Nabawi
            Klasifikasi Athibbun Nabawi terbagi atas dua :
1.    preventif (Pencegahan)
adalah  Klasifikasi tradisi yang berhubungan dengan pengobatan yang  tergantung pada kondisi ilmu pengetahuan serta perubahannya mengikuti ruang dan waktu. Jalaluddin al Suyuti menulis sebuah buku tentang thibbun nabawi dan membagian pengobatan menjadi 3 jenis: tradisional, spiritual dan pencegahan. Kebanyakan thibbun nabawi merupakan pencegahan. Konsepnya tergolong ilmu pengetahuan yang sangat maju pada masa hidup Rasulullah serta diyakini merupakan ilham  yang  turun  langsung dari Allah.
Athibbun Nabawi Spiritual: Penelitian thibbun nabawi menyatakan bahwa ada aspek-aspek spiritual dari penyembuhan dan pemulihan. Doa, pembacaan Al Qur’an, dan mengingat Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Penyakit psikosomatik dapat merespon pendekatan spiritual. Penggunaan ruqyat (surat al fatiha, al mu’awadhatain) jatuh di antara proses penyembuhan fisik dan spiritual. Bagian penyembuhan dari ruqyat bisa difahami dalam istilah modern : bahwa jiwa mampu mengendalikan mekanisme kekebalan tubuh yang mencegah penyakit.
2.    Kuratif (Penyembuhan)
adalah:  Ibnul Qayim al Jauziyah menyebutkan banyak penyakit yang tindakan medisnya direkomendasikan dari thibbun nabawi. Penyakit-penyakit oleh thibbun nabawi dapat diobati dengan pengobatan alami: demam, dropsy, luka, tekanan darah tinggi, iritasi kulit,  selaput dada sakit kepala dan hemikrania, sidau and shaqiiqat; radang tenggorakan, pembesaran jantung,  keracunan makanan, dan lain-lain.
Perawatan medis yang disebutkan adalah madu, al 'asal; air dingin untuk demam, al mau albarid; diet, ghadha; susu, al laban; susu unta, urine unta. Biji gelap, al habba al sauda, yang dijelaskan khususnya. Perawatan bedah yang disebutkan adalah: bekam, al hijaam; kauterisasi, al kayy; veneseksi dengan kauterisasi qatiu al uruuq wa al kayy.[3]

C.   Cakupan Athibbun Nabawi

Telah dijelaskan bahwa Thibbun Nabawi tidak mencakup seluruh penyakit yang mungkin terjadi pada masa Rasulullah, juga tidak bisa mencakup semua penyakit ringan zaman sekarang atau masa depan di berbagai belahan dunia. Hal ini sangat mudah difahami, konteksnya adalah saat mempraktikkan ilmu kedokteran misi utama beliaubukanlah ilmu kedokteran dan beliau bukan sepenuhnya seorang dokter.
Hadist Rasul seharusnya tidak dilihat sebagai buku teks pengobatan, tetapi digunakan untuk penyakit- penyakit yang berhubungan dengannya. Cara yang paling sesuai untuk mendapatkan tambahan ilmu pengobatan adalah melalui penelitian dan mencari tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Perubahan Ruang dan Waktu adalah  Apapun yang Rasul katakan atau lakukan adalah benar dan harus diikuti karena Beliau tidak pernah berkata dusta bahkan bercanda. Ijtihad Rasul hinggadalam masalah-masalah duniawi pun dilindungi, ma'suum. Bukti otentik hadist yang kita punyai sangatlah valid, baik dalam masalah 'aqidah ataupun keduniawian.Usaha untuk membedakan antara ilmu pengobatan yang diajarkan pada zaman Rasulullah dengan kehidupan Arab pada masa itu bukanlah hal yang signifikan.
Pertanyaannya adalah apakah semua atau beberapa dari thibbun nabawi harus dipakai pada zaman sekarang. Jika diagnosis dari suatu penyakit dan semua kondisi di sekitarnya jelas seperti pada zaman Rasulullah, maka kita tidak akan ragu mengatakan bahwa thibbun nabawi harus digunakan. Pada kenyataannya, sulit untuk meyakini bahwa keadaannya sama.
Perubahan patologi penyakit, perubahan kelompok genetika pasien, perubahan kelompok genetika tanaman kesehatan, kondisi cuaca dan iklim adalah faktor-faktor tidak tetap yang mungkin membuat pengobatan tertentu yang direkomendasikan oleh Rasulullah tidak sesuai untuk kondisi kesehatan saat ini.
Penggunaan ilmu pengobatan secara historis dapat menyebabkan penggunaan obat yang benar untuk penyakit yang salah. Bahkan ada pula permasalahan linguistik, karena makna kata-kata telah berubah. Apa yang disebut demam pada abad 1 H mungkin tidak sama seperti makna zaman sekarang. Bahkan tanaman kesehatan seperti black seed mungkin bukan tanaman yang sama. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa ajaran dari thibbun nabawi hanya bisa menjadi fondasi untuk membimbing dan menguatkan penelitian ilmiah untuk terapi pengobatan yang tepat pada zaman kita.
Penelitian Empiris pada thibbun nabawi: Banyak perhatian ilmiah dalam ajaran Rasulullah SAW mengenai pengobatan. Jinten hitam (nigella sativa) adalah salah satu contoh pengobatanala Nabi yang  telah dipelajari secara luas oleh umat Muslim dan non-Muslim.
Pada dasarnya, istilah “thibbun nabawi” tidak ada pada zaman Rasulullah. Nabi sendiri tidak pernah membuat klasifikasi bahwa ini  termasuk thibbun nabawi dan itu bukan. Thibbun nabawi sendiri dimuncukan oleh para dokter muslim sekitar abad ke-13 Masehi untuk memudahkan klasifikasi kedokteran. Istilah Thibbun nabawi dipakai untuk menunjukkan ilmu-ilmu kedokteran yang berada dalam bingkai keimanan kepada Allah SWT, serta bimbingan AlQuran dan Sunnah, yang dibedakan dengan ilmu-ilmu kedokteran yang tumbuh liar sehingga bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, seperti yang terjadi pada zaman sebelum datangnya Islam.
Thibbun nabawi sebenarnya merupakan perpaduan berbagai disiplin ilmu kedokteran. Ilmu ini pula yang dikembangkan umat Islam keseluruh dunia, dari Arab ke Eropa dan keseluruh negara-negara Barat hingga abad ke-17. Saat itu tidak ada pemisahan antara ilmu kedokteran modern dan ilmu kedokteran tradisional. Baru pada awal-awal abad ke-19, orang-orang Yahudi dan nasrani menghapus ilmu kedokteran yang bernilaikan Islam dan  dan berdasarkan wahyu ilahi dari kurikulum-kurikulum sekolah mereka di negara-negara Eropa.
Mereka kemudian mengembangkan ilmu kedokteran yang sudah terpisahkan dari nilai-nilai islam tadi sehingga maju seperti saat ini. Lalu mereka mengklaim bahwa ilmu kedokteran Barat yang maju itu milik mereka, dan itulah yang mereka sebut ilmu kedokteran modern.
Berikut bukti bahwa ilmu kedokteran modern –yang mereka anggap berasal dari Eropa- sebenarnya sudah dikembangkan oleh para sahabat nabi, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan generasi berikutnya, antara lain :
1)    Dalam Al-Quran dan Al-hadist banyak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, baik kedokteran tradisioanl maupun kedokteran modern.
2)    Sebelum abad ke-18, belum ada buku tentang obat-obatan mata yang ditulis oleh orang-orang Eropa. Mereka mengambilnya dari buku-buku karangan orang Islam seperti Kitabu l-Asyroh Maqolat fi ‘l “ain (Sepuluh Problema Mata).
3)    Pada zaman perang salib, para pasien Kristen, lebih suka mengambil dokter-dokter Muslim dari pada dokter-dokter Kristen. Ini karena pada saat itu orang islam lebih pintar dan lebih ahli dalam pengobatan.
Demikianlah, para dokter muslim saat itu mengembangkan ilmu kedokteran Nabi secara secara kaffah dan menyeluruh, tidak hanya yang tradisional, namun juga kedokteran modern, serta tidak memisahkan antara keduanya. Kaum muslimin juga melettakkan ilmu kedokteran dengan nilai-nilai ilahiyah, dalam bingkai Al-Quran dan Al-hadist, sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dengan pesat hingga menembus belahan Eropa yang saat itu masih gelap gulita jauh dari cahaya ilmu pengetahuan.[4]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar