A. Defenisi Pengertian Athibbun Nabawi
Athibbun Nabawi adalah metode pengobatan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad
SWT. Kepada orang yang mengalami
sakit tentang apa yang beliau ketahui berdasarkan wahyu.
Pengobatan yang digunakan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam
saat mengobati sakit yang dideritanya, atau beliau
perintahkan kepada keluarga serta para sahabat yang tengah sakit untuk melakukannya.
Adapun sumber yang dapat dijadikan rujukan adalah Al-Qur’an, hadits shahih serta
atas para sahabat yang diriwayatkan
melalui jalan yang dapat dipertanggungjawabkan
menurut kaidah -kaidah ilmu hadits.
Ibnu
Qoyyim al-Jauziyah berkata dalam Zaadul Ma’ad (IV/33), “Pengobatan cara Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam memiliki perbedaan dibanding dengan metode pengobatan
lainnya. Karena metode ini bersumber dari wahyu, misykat kenabian dan akal yang sempurna, maka tentu memiliki derajat kepastian yang menyakinkan di samping memiliki nilai keilahian, berbeda dengan metode pengobatan lainnya yang umumnya hanya berdasarkan pikiran, dugaan atau pengalaman semata-mata. ” (Syaikh Salim bin 'Ied
al-Hilali, 2009). Pengobatan ini sangat meyakinkan untuk menjadi sebab kesembuhan, sedangkan pengobatan lain lebih banyak merupakan hipotesis (dugaan) karena para dokter merupakan manusia biasa, sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah seorang Nabi sekaligus Rasul dimana segala sesuatu yang beliau katakan dan lakukan mutlak kebenarannya.[1]
Adapun defenisi Thibbun Nabawi tersebut berdasarkan firman
Allah Subhanahu
wa Ta'ala,
Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (QS.
AL-Najm: 3-4)
Pengobatan ini bersandar kuat kepada akidah
Islamiyah yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah pemilik alam semesta ini.
Kesembuhan terletak di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia yang memberikan kesembuhan
kepada manusia. Seperti Firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala,
Artinya :”Dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan Aku, (QS. Al-Syu’aro’: 80)
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu
'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Bagi setiap
penyakit yang diturunkan Allah ada obatnya yang juga diturunkan-Nya.”
(HR. Al-Bukhari) Pernyataan ini merupakan penegasan tentang hakikat dan akidah
yang seyogyanya tidak hilang dari hati setiap muslim.
Pengobatan
Nabawi sifatnya pasti, qoth’i, dan ilahi, bersumber dari wahyu, pelita
kenabian, dan kesempurnaan akal. Adapun pengobatan lainnya kebanyakan
berlandaskan perkiraan, dugaan, dan percobaan-percobaan. Memang tidak perlu
dibantah bahwa banyak orang sakit yang tidak merasakan manfaat pengobatan
Nabawi, karena yang bisa mendapatkan manfaat pengobatan Nabawi adalah siapa
yang mau menerimanya dengan percaya dan yakin akan diperolehnya kesembuhan.
(Aiman bin ‘Abdul Fattah, 2005 : 107)
Nabi
Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam telah memberi petunjuk tentang banyak obat-obatan,
mengajari cara untuk memanfaatkannya, sehingga diperoleh kesembuhan dengan izin
Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Jika kita mencermati sabda-sabda beliau tentang
pengobatan, baik pengobatan yang beliau laksanakan untuk mengobati diri sendiri
atau beliau anjurkan kepada orang lain, maka di dalamnya akan kita temukan
hikmah yang tidak mampu diterima oleh akal kebanyakan dokter.
Ada beberapa definisi Athibbun Nabawi yaitu :
1. Athibbun
nabawi : Pengobatan yang memakai alat, bahan-bahan, metode, cara kerja seperti
pada zaman Nabi Muhammad Shallalaahu 'alaihi wassalam.
2. A thibbun nabawi : Pengobatan yang
diamalkan/ditetapkan para Nabi, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para
pengikutnya.
3. Athibbun nabawi : Pengobatan yang menjaga akal,
nasab, jiwa, jasad dan kehormatan manusia.
4. Athibbun nabawi : Pengobatan yang tidak
bercampur dengan sesuatu yang haram, syirik, khurofat, bid’ah.
5. Athibbun nabawi : Pengobatan yang menjadikan
ALLAH sebagai penyembuh yang tidak mengurangi ketawakalan.[2]
B.
Klasifikasi Athibbun Nabawi
Klasifikasi Athibbun Nabawi terbagi
atas dua :
1. preventif (Pencegahan)
adalah Klasifikasi tradisi yang berhubungan dengan pengobatan
yang tergantung pada kondisi ilmu
pengetahuan serta perubahannya mengikuti ruang dan waktu. Jalaluddin al Suyuti
menulis sebuah buku tentang thibbun nabawi dan membagian pengobatan
menjadi 3 jenis: tradisional, spiritual dan pencegahan. Kebanyakan thibbun
nabawi merupakan pencegahan. Konsepnya tergolong ilmu pengetahuan yang
sangat maju pada masa hidup Rasulullah serta diyakini merupakan ilham yang turun langsung
dari Allah.
Athibbun Nabawi Spiritual:
Penelitian thibbun nabawi menyatakan bahwa ada aspek-aspek spiritual dari
penyembuhan dan pemulihan. Doa, pembacaan Al Qur’an, dan mengingat Allah
sebagai satu-satunya sesembahan. Penyakit psikosomatik dapat merespon
pendekatan spiritual. Penggunaan ruqyat (surat al fatiha, al mu’awadhatain) jatuh
di antara proses penyembuhan fisik dan spiritual. Bagian penyembuhan dari ruqyat
bisa difahami dalam istilah modern : bahwa jiwa mampu mengendalikan
mekanisme kekebalan tubuh yang mencegah penyakit.
2.
Kuratif
(Penyembuhan)
adalah: Ibnul Qayim al Jauziyah menyebutkan banyak penyakit
yang tindakan medisnya direkomendasikan dari thibbun nabawi. Penyakit-penyakit
oleh thibbun nabawi dapat diobati dengan pengobatan alami: demam, dropsy,
luka, tekanan darah tinggi, iritasi kulit, selaput dada sakit kepala dan
hemikrania, sidau and shaqiiqat; radang tenggorakan, pembesaran
jantung, keracunan makanan, dan
lain-lain.
Perawatan medis yang disebutkan
adalah madu, al 'asal; air dingin untuk demam, al mau albarid; diet,
ghadha; susu, al laban; susu unta, urine unta. Biji gelap, al
habba al sauda, yang dijelaskan khususnya. Perawatan bedah yang disebutkan
adalah: bekam, al hijaam; kauterisasi, al kayy; veneseksi dengan
kauterisasi qatiu al uruuq wa al kayy.[3]
C.
Cakupan Athibbun Nabawi
Telah dijelaskan bahwa Thibbun
Nabawi tidak mencakup seluruh penyakit yang mungkin terjadi pada masa
Rasulullah, juga tidak bisa mencakup semua penyakit ringan zaman sekarang atau
masa depan di berbagai belahan dunia. Hal ini sangat mudah difahami, konteksnya
adalah saat mempraktikkan ilmu kedokteran misi utama beliaubukanlah ilmu
kedokteran dan beliau bukan sepenuhnya seorang dokter.
Hadist Rasul seharusnya tidak
dilihat sebagai buku teks pengobatan, tetapi digunakan untuk penyakit- penyakit
yang berhubungan dengannya. Cara yang paling sesuai untuk mendapatkan tambahan
ilmu pengobatan adalah melalui penelitian dan mencari tanda-tanda kebesaran Allah
di alam semesta. Perubahan Ruang dan Waktu adalah Apapun yang Rasul katakan atau lakukan adalah
benar dan harus diikuti karena Beliau tidak pernah berkata dusta bahkan bercanda.
Ijtihad Rasul hinggadalam masalah-masalah duniawi pun dilindungi, ma'suum.
Bukti otentik hadist yang kita punyai sangatlah valid, baik dalam masalah 'aqidah
ataupun keduniawian.Usaha untuk membedakan antara ilmu pengobatan yang
diajarkan pada zaman Rasulullah dengan kehidupan Arab pada masa itu bukanlah
hal yang signifikan.
Pertanyaannya adalah apakah semua
atau beberapa dari thibbun nabawi harus dipakai pada zaman sekarang.
Jika diagnosis dari suatu penyakit dan semua kondisi di sekitarnya jelas seperti
pada zaman Rasulullah, maka kita tidak akan ragu mengatakan bahwa thibbun
nabawi harus digunakan. Pada kenyataannya, sulit untuk meyakini bahwa
keadaannya sama.
Perubahan patologi penyakit, perubahan
kelompok genetika pasien, perubahan kelompok genetika tanaman kesehatan, kondisi
cuaca dan iklim adalah faktor-faktor tidak tetap yang mungkin membuat
pengobatan tertentu yang direkomendasikan oleh Rasulullah tidak sesuai untuk
kondisi kesehatan saat ini.
Penggunaan ilmu pengobatan
secara historis dapat menyebabkan penggunaan obat yang benar untuk penyakit
yang salah. Bahkan ada pula permasalahan linguistik, karena makna kata-kata
telah berubah. Apa yang disebut demam pada abad 1 H mungkin tidak sama seperti
makna zaman sekarang. Bahkan tanaman kesehatan seperti black seed mungkin
bukan tanaman yang sama. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa ajaran
dari thibbun nabawi hanya bisa menjadi fondasi untuk membimbing dan
menguatkan penelitian ilmiah untuk terapi pengobatan yang tepat pada zaman
kita.
Penelitian Empiris pada thibbun
nabawi: Banyak perhatian ilmiah dalam ajaran Rasulullah SAW mengenai
pengobatan. Jinten hitam (nigella sativa) adalah salah satu contoh
pengobatanala Nabi yang telah dipelajari
secara luas oleh umat Muslim dan non-Muslim.
Pada dasarnya, istilah “thibbun nabawi”
tidak ada pada zaman Rasulullah. Nabi sendiri tidak pernah membuat klasifikasi
bahwa ini termasuk thibbun nabawi dan itu bukan. Thibbun nabawi sendiri
dimuncukan oleh para dokter muslim sekitar abad ke-13 Masehi untuk memudahkan
klasifikasi kedokteran. Istilah Thibbun nabawi dipakai untuk menunjukkan
ilmu-ilmu kedokteran yang berada dalam bingkai keimanan kepada Allah SWT, serta
bimbingan AlQuran dan Sunnah, yang dibedakan dengan ilmu-ilmu kedokteran yang
tumbuh liar sehingga bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, seperti yang
terjadi pada zaman sebelum datangnya Islam.
Thibbun nabawi sebenarnya merupakan perpaduan
berbagai disiplin ilmu kedokteran. Ilmu ini pula yang dikembangkan umat Islam
keseluruh dunia, dari Arab ke Eropa dan keseluruh negara-negara Barat hingga
abad ke-17. Saat itu tidak ada pemisahan antara ilmu kedokteran modern dan ilmu
kedokteran tradisional. Baru pada awal-awal abad ke-19, orang-orang Yahudi dan
nasrani menghapus ilmu kedokteran yang bernilaikan Islam dan dan
berdasarkan wahyu ilahi dari kurikulum-kurikulum sekolah mereka di
negara-negara Eropa.
Mereka kemudian mengembangkan ilmu
kedokteran yang sudah terpisahkan dari nilai-nilai islam tadi sehingga maju
seperti saat ini. Lalu mereka mengklaim bahwa ilmu kedokteran Barat yang maju
itu milik mereka, dan itulah yang mereka sebut ilmu kedokteran modern.
Berikut bukti bahwa ilmu kedokteran modern
–yang mereka anggap berasal dari Eropa- sebenarnya sudah dikembangkan oleh para
sahabat nabi, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan generasi berikutnya, antara lain :
1) Dalam Al-Quran dan Al-hadist banyak disebutkan hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu kedokteran, baik kedokteran tradisioanl maupun kedokteran modern.
2) Sebelum abad ke-18, belum ada buku tentang obat-obatan mata yang ditulis
oleh orang-orang Eropa. Mereka mengambilnya dari buku-buku karangan orang Islam
seperti Kitabu l-Asyroh Maqolat fi ‘l “ain (Sepuluh Problema Mata).
3) Pada zaman perang salib, para pasien Kristen, lebih suka mengambil
dokter-dokter Muslim dari pada dokter-dokter Kristen. Ini karena pada saat itu
orang islam lebih pintar dan lebih ahli dalam pengobatan.
Demikianlah, para dokter muslim saat itu
mengembangkan ilmu kedokteran Nabi secara secara kaffah dan menyeluruh, tidak
hanya yang tradisional, namun juga kedokteran modern, serta tidak memisahkan
antara keduanya. Kaum muslimin juga melettakkan ilmu kedokteran dengan
nilai-nilai ilahiyah, dalam bingkai Al-Quran dan Al-hadist, sehingga
berkembanglah ilmu kedokteran dengan pesat hingga menembus belahan Eropa yang
saat itu masih gelap gulita jauh dari cahaya ilmu pengetahuan.[4]
[3] www.riniakhwatmuslim.blogspot.com dengan judul: Pengertian Thibbun Nabawi. http://www.voa-islam.com/advertisement/banner di unduh
12-11-12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar